cover
Contact Name
Fuad Mustafid
Contact Email
fuad.mustafid@uin-suka.ac.id
Phone
+6281328769779
Journal Mail Official
asy.syirah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
ISSN : 08548722     EISSN : 24430757     DOI : 10.14421/ajish
Core Subject : Religion, Social,
2nd Floor Room 205 Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Marsda Adisucipto St., Yogyakarta 55281
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 56 No 1 (2022)" : 8 Documents clear
Local Values and Judges’ Legal Discretion in Islamic Court of Makassar: the Case of “Dispensasi Nikah” Kholifatun Nur Mustofa
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.811

Abstract

Abstract: This paper examines the legal considerations used by judges in the case of marriage dispensation at the Makassar Religious Court. This paper focuses on two things, first, the judge's consideration in deciding the marriage dispensation case, while the second focus is on the age of youngest couple who applied for a marriage dispensation. The marriage dispensation decision at the Makassar Religious Court is used as the primary source, while the secondary sources are collected from interviews and scientific works related to the topic of this research. Legal pluralism is applied as an approach to determine which law is more dominant in granting marriage dispensation in Makassar. The results revealed that majority of judges use customary law as a legal consideration in granting marriage dispensation cases at the Court. The judge used customary law as a consideration to granting a marriage dispensation application. It is reported that the youngest age in the marriage dispensation was 13 years for women and 14 years for men. The author found that 13 of the 16 cases of marriage dispensation stated that the child of the applicant who filed the marriage dispensation case was not pregnant. Abstrak: Paper ini mengkaji tentang pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Makassar. Tulisan ini berfokus pada dua hal, pertama, pertimbangan yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah. Kedua fokus pada berapa usia pasangan termuda yang mengajukan dispensasi nikah. Putusan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Makassar penulis gunakan sebagai sumber primer, sedangkan sumber sekunder penulis dapatkan dari wawancara dan karya ilmiah yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Pluralisme hukum diterapkan sebagai pendekatan untuk menentukan hukum mana yang lebih dominan dalam pemberian dispensasi perkawinanPengadilan Agama Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas hakim menggunakan hukum adat sebagai pertimbangan hukum dalam mengabulkan perkara dispensasi nikah di Pengadilan. Hakim menggunakan hukum adat sebagai pertimbangan untuk mengabulkan permohonan dispensasi nikah. Penelitian ini mengungkapkan bahwa usia termuda dalam dispensasi perkawinan adalah 13 tahun untuk perempuan dan 14 tahun untuk laki-laki. Penulis menemukan bahwa 13 dari 16 kasus dispensasi nikah menyatakan bahwa anak pemohon yang mengajukan dispensasi nikah tidak hamil.
The Indonesian Government's Economic Policy During the Pandemic: A Study of Legal Protection for Debtors Affected by Covid-19 Sri Wahyuni
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.980

Abstract

Abstract: This article discusses government policies to protect debtors affected by Covid-19 and its implementation in banking institutions. This article used a juridical-empirical approach with the theory of default, overmatch, and hardship. This article collects data sources from some legislations and government policies during the Covid-19 pandemic and some credit institutions’ policies and debtors affected by Covid-19. This article reveals that the government has made a policy requiring creditors of banking financial institutions to relax credit for creditors affected by Covid-19, as contained in POJK Number 11/OJK.3/2020. With this policy, financial institutions can restructure credit for debtors. Due to difficult circumstances, the debtor who does not pay the credit installments in the credit agreement is no longer a default. They also cannot be subject to sanctions or demanded compensation for their inaccuracies in fulfilling their responsibility to pay installments. The government made a policy to provide legal protection for debtors affected by Covid-19. Abstract: Artikel ini membahas tentang kebijakan pemerintah dalam upaya melindungi debitur terdampak Covid-19 dan implementasinya pada lembaga perbankan. Artikel ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris dengan memanfaatkan teori wan prestasi, overmacht dan keadaan sulit (hardshup). Data digali dari sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah di masa pandemi Covid-19 dan juga sejumlah kebijakan lembaga kredit serta para debitur terdampak Covid-19. Artikel ini mengungkap bahwa pemerintah membuat kebijakan yang mengharuskan para kreditur lembaga-lembaga keuangan perbankan melakukan relaksasi kredit bagi para debitur terdampak Covid-19. Hal ini termuat dalam POJK Nomor 11/OJK.3/2020. Dengan adanya kebijakan ini, lembaga-lembaga keuangan dapat melakukan resktrukturisasi kredit bagi para debitur terdampak Covid-19. Para debitur yang tidak membayar angsuran kredit sesuai dengan perjanjian kredit yang telah dibuat tidak lagi dikatakan sebagai sebuah wanprestasi, karena adanya keadaan sulit (hardship). Mereka juga tidak dapat dikenai sanksi atau dituntut ganti rugi atas ketidaktepatannya dalam memenuhi tanggung jawabnya membayar angsuran. Kebijakan pemerintah tersebut dibuat dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap para debitur terdampak Covid-19.
Criminal Responsibilities of Criminal Trafficking in PerCriminal Responsibilities of Criminal Trafficking in Persons with Mail-Order Bride Mode Between China and Indonesiasons with Mail-Order Bride Mode Between China and Indonesia Reine Rofiana; Muhyi Mohas; Belardo Prasetya Mega Jaya; Nuryati Solapari; Shofia Khairunnisa
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.994

Abstract

Abstract: This article discusses legal provisions regarding the criminal act of trafficking in persons between Indonesia and China with the mail-order bride mode, which has recently occurred in various regions in Indonesia, and the criminal responsibility of the perpetrators of the trafficking in persons. The primary sources of this research are Law No. 21 of 2007 on the Eradication of Human Trafficking, the Criminal Law of the People’s Republic of China, Law No. 13 of 2017 concerning the Ratification of the Agreement between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China regarding Extradition, and the results of interviews with various party. The secondary sources come from scientific works that study or are related to the object of this research. Using juridical-empirical approach, this study results indicate that the criminal act of trafficking in persons with the order mode of the bride and groom between men with Chinese citizenship and women with Indonesian citizenship was committed by several parties, including Indonesian agents, Chinese agents, mail-order bride service users, and intermediary parties (makcomblang). The perpetrators of the crime of trafficking persons who are in Indonesia can be subject to criminal sanctions as stipulated in Law No. 21 of 2007 on the Eradication of Human Trafficking. Meanwhile, perpetrators who are domiciled in China can be subject to criminal sanctions through extradition based on an extradition agreement between China and Indonesia (July 1, 2009) which has been ratified by Law No. 13 of 2017 concerning the Ratification of the Agreement between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China regarding Extradition. Abstrak: Artikel ini mengkaji ketentuan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang antara Indonesia dan Cina dengan modus pengantin pesanan yang akhir-akhir ini banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan  pertanggungjawaban pidana para pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut. Sumber utama penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Criminal Law of the People’s Republic of China, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina, dan hasil wawancara dengan berbagai pihak. Adapun sumber sekundernya berasal dari karya-karya ilmiah yang mengkaji atau berkaitan dengan objek penelitian ini. Menggunakan pendekatan yuridis-empiris, penelitian ini menemukan bahwa tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan antara laki-laki berkewarganegaraan Cina dengan perempuan berkewarganegaraan Indonesia dilakukan oleh beberapa pihak, yang meliputi agen Indonesia, agen Cina, pengguna jasa pengantin pesanan, dan pihak perantara (makcomblang). Para pelaku tindak pidana perdagangan orang yang berada di Indonesia ini dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sementara para pelaku yang berkedudukan di negara Cina dapat dikenai sanksi pidana melalui pemberlakuan ekstradisi berdasarkan persetujuan ekstradisi antara Cina dan Indonesia (1 Juli 2009) dan telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina. 
Dualism and Unworthy Legal Practice: The Marginalization of Women's Rights in Sirri and Early Marriages Abi Hasan; Achmad Musyahid; Asman Asman
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.1006

Abstract

Abstract: Marriage is a constitutional right of Indonesian citizens, but not all marriages end in favour to women. From a legal and normative standpoint, this study examines how sirri and early marriage marginalize women. This article is library research. Datas were collected by conducting study of primary and secondary legal materials. The findings of this study demonstrate that sirri marriage is manifestly ineffective and contrary to the Indonesian Marriage Law. Women in sirri marriages do not have proper inheritance rights because sirri marriages are not recognized by state law, despite the fact that they are valid under religious law. In a similar vein, it appears that women's rights are not guaranteed in early marriage because couples in general lack the capacity and maturity to manage rights, obligations, and roles within the household; even early marriage appears to be "forced."Abstrak: Pernikahan merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Akan tetapi, tidak semua pernikahan, baik praktik maupun aturan hukumnya menguntungkan bagi semua pihak, terutama bagi perempuan. Artikel ini mengkaji marginalisasi perempuan dalam kasus nikah sirri dan nikah dini dengan perspektif yuridis-normatif. Data-data dikumpulkan dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan sirri jelas tidak efektif dan cukup menyimpang dari ketentuan Undang-undang Perkawinan Indonesia. Kaum perempuan dalam pernikahan sirri tidak diuntungkan dalam pembagian harta warisan karena pernikahan mereka tidak dikuatkan dengan akta nikah, walaupun pernikahan tersebut dinilai sah menurut hukum agama. Hal yang sama juga terjadi pada pernikahan dini karena hak-hak perempuan pada kenyataannya tidak terjamin. Hal ini disebabkan para pasangan dalam pernikahan dini, umumnya, belum memiliki kapasitas dan kedewasaan yang cukup dalam manajemen hak, kewajiban, dan peran dalam rumah tangga. Pernikahan dini bahkan terkesan sebagai pernikahan yang “dipaksakan”.
The Challenge of Indonesian Customary Law Enforcement in the Coexistence of State Law Orien Effendi
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.1033

Abstract

Abstract: This article examines the challenges that arise from implementing customary law in Indonesian society amidst the predominance of state law. The data was collected from primary and secondary legal materials as well as facts on the ground. Applying a juridical-empirical approach, this study identifies various factors that contribute to difficulties in the application of customary law, including the tendency for law enforcers to prioritize state law over customary law, and the textual understanding of law that permeates legal discourse. Furthermore, efforts to unify the law have also created additional problems for customary law. In addition, this article also finds evidence that a number of concepts offered by experts in overcoming this problem are in fact not able to guarantee the application of customary law in the life of Indonesian society. Thus, it is necessary to support these proposals with legal-political changes that can ensure the existence and enforceability of customary law in Indonesian society. Abstrak: Artikel ini mengkaji problematika penerapan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia di tengah dominannya hukum negara. Data-data dikumpulkan dari bahan-bahan hukum primer dan sekunder serta fakta-fakta di lapangan. Menggunakan pendekatan yuridis-empiris, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan munculnya problematika dalam penerapan hukum adat, yakni adanya para penegak hukum yang sering kali mengesampingkan keberadaan hukum adat dan lebih mengedepankan berlakunya hukum negara; adanya pemahaman hukum yang cenderung terkstual dari para penegak hukum, dan juga adanya upaya univikasi hukum yang ternyata justru telah menimbulkan masalah baru bagi penerapan hukum adat. Selain itu, artikel ini juga menemukan bukti bahwa sejumlah konsep yang ditawarankan oleh para sarjana dalam mengatasi persoalan tersebut dalam faktanya juga belum mampu menjamin bisa diterapkannya hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tawaran-tawaran tersebut perlu didukung dengan upaya melakukan perubahan hukum melalui politik hukum yang bisa menjamin eksistensi dan keberlakuan hukum adat dalam masyarakat Indonesia.
The Practice of Marriage of Sampang Shia Refugees in Puspa Agro, Sidoarjo: Barriers and Challenges to Obtaining Family Administration Rights Maulidia Mulyani
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.1042

Abstract

Abstract: This article examines the constraints and challenges of the Sampang Shia refugees in Puspa Agro, Sidoarjo, in carrying out marriages and obtaining family administration rights. The data source in this article is based on field data obtained through observation and interviews and is supported by library data. Using resilience theory, this article seeks to answer two fundamental issues: first, what are the barriers faced by the Shia refugee group in Sampang in entering into marriages and obtaining family administration rights?; second, what is the strategy used by the Sampang Shiite group in obtaining family administration rights? Using socio legal, this article finds that Shi'a refugees face obstacles and challenges in consummating marriages and obtaining family administration rights as a result of the Sunni-Shia conflict that does not subside. They did not receive marriage guidance and also could not get married in front of KUA officers due to the long distances and high costs. In an effort to obtain administrative rights for their family, they made efforts to adapt to the existing situation. They carry out marriage guidance by asking the lokal ustaz for advice, submitting files to make a marriage certificate and taking part in the marriage registration program with an escort. Abstrak: Artikel ini mengkaji kendala dan tantangan para pengungsi Syiah Sampang yang ada di Puspa Agro, Sidoarjo, dalam melakukan perkawinan dan mendapatkan hak administrasi keluarga. Sumber data dalam artikel ini didasarkan pada data-data lapangan yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dan didukung dengan data kepustakaan. Menggunakan teori resiliensi, artikel ini hendak menjawab dua hal mendasar: pertama, apa saja kendala yang dihadapi kelompok pengungsi Syiah Sampang dalam melakukan perkawinan dan mendapatkan hak administrasi keluarga?; kedua, bagaimana strategi yang digunakan oleh kelompok Syiah Sampang dalam mendapatkan hak administrasi keluarga? Menggunakan socio legal, artikel ini menemukan bahwa para pengungsi Syi’ah menghadapi kendala dan tantangan dalam melakukan perkawinan dan mendapatkan hak administrasi keluarga sebagai akibat dari adanya konflik Sunni-Syiah yang tidak kunjung mereda. Mereka tidak mendapatkan bimbingan pernikahan dan juga tidak dapat melakukan pernikahan di depan petugas KUA disebabkan jarak tempuh yang jauh dan biaya yang mahal. Dalam upaya untuk mendapatkan hak administrasi keluarga mereka melakukan upaya adaptasi dengan situasi yang ada. Mereka melakukan bimbingan nikah dengan cara meminta nasihat kepada ustadz setempat, menyetorkan berkas untuk pembuatan akta nikah dan mengikuti program isbat nikah dengan pengawalan.
The Legal Politics of the Aceh Governor's Policy Regarding Religious Activities in Public Sphere: David Easton's Political Theory perspective Muhammad Fakhrul Mahdi; Ahmad Yani Anshori
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.1105

Abstract

Abstract: This article examines the phenomenon which caused the issuance and the formation of the Aceh Governor Circular Letter concerning the recitation prohibition other than the Aqidah of Ahlussunnah wal Jamaah. This article employs the empirical legal studies approach and the analysis of David Easton's system theory. This article finds that the Aceh Governor's Circular Letter was motivated by the emergence of the recitation phenomenon in the Aceh region, which teachings are considered apart from the Ahlussunnah wal Jamā'ah aqidah. This Circular Letter is also based on the existence of the Aceh Qanun Number 8 of 2014 demands and Aceh Ulema Consultative Council (MPU) support. The history of diversity, socio-religious practices, and education that developed in Aceh also contributed to the Aceh Governor Circular Letter promulgation. The Aceh Governor policy in David Easton's political theory is called the output sub-system (output). This policy has produced both positive and negative impacts. The negative impact of the Aceh Governor Circular Letter then becomes feedback for stakeholders to formulate new policies that could accommodate and protect all groups.   Abstrak: Artikle ini mengkaji fenomena yang melatari lahirnya Surat Edaran Gubernur Aceh tentang larangan pengajian selain aqidah Ahlussunnah wal Jamaah beserta proses pembentukannya. Menggunakan pendekatan empirical legal studies dan analisis teori sistem David Easton diperoleh temuan sebagai berikut. Pertama, lahirnya Surat Edaran Gubernur Aceh dilatarbelakangi oleh munculnya fenomena pengajian di wilayah Aceh yang mengajarkan paham yang diyakini berada di luar aqidah Ahlussunnah wal Jamā'ah. Selain itu, ia juga didasarkan pada adanya tuntutan (demand) dari Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 serta dukungan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Sejarah keberagamaan, praktik sosial keagamaan, dan pendidikan yang berkembang di Aceh juga ikut melatari lahirnya Surat Efaran Gubernur Aceh ini. Kedua, lahirnya kebijakan (policy) Gubernur Aceh tersebut dalam teori politik David Easton disebut sebagai subsistem keluaran (output). Kebijakan ini dalam faktanya telah melahirkan dampak positif dan negatif sekaligus. Dampak negatif dari Surat Edaran Gubernur Aceh tersebut kemudian menjadi umpan balik (feedback) bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan baru yang bisa mengakomodasi dan melindungai semua kalangan.
Policies and Responsibilities of Government Officials during the Covid-19: The Problem of Interpreting the Phrase of Good Faith in Law Number 2 of 2020 Darsinah Darsinah; Achmad Dardiri Hasyim; Mufrod Teguh Mulyo
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i1.1117

Abstract

Abstract: Article 27 Paragraph (2) Law Number 2 of 2020 introduces the term "good faith" which forms the basis for the policy of non-prosecution of government officials either criminally or civilly. The good faith phrase has led to public polemics and debates. This article aims to describe the position of Law Number 2 of 2020 as well as the meaning and the concept of "good faith" as found in Law No. 2 of 2020 based on the Civil Code. This research utilizes the library method. The research results show that: first, Law Number 2 of 2020 is an adequate legal instrument to provide a strong foundation for the government and related institutions to make certain necessary policies and measures during the Covid-19. Second, the good faith phrase as found in Law No. 2 of 2020 can be interpreted and implemented through 4 (four) indicators, namely: (1) there is business; (2) legal guarantees through regulations that are a win-win solution; (3) implementation of regulations that are appropriate and run optimally; and (4) cooperation between all parties. Abstrak: Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 menyebut kata “iktikad baik” yang menjadi dasar kebijakan pejabat pemerintah tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Frase iktikad baik tersebut sempat menimbulkan polemik dan perdebatan di kalangan masyarakat. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan kedudukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 dan sekaligus makna dan konsep “iktikad baik” yang ada dalam undang-undang tersebut berdasar Civil Code. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, UU No. 2 Tahun 2020 merupakan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah tertentu yang diperlukan di masa Covid-19. Kedua, frase “iktikad baik” yang ada dalam UU No. 2 Tahun 2020 dapat diinterpretasikan dan diterapkan melalui 4 (empat) indikator, yaitu: (1) adanya usaha; (2) jaminan hukum melalui regulasi yang win-win solution; (3) implementasi regulasi yang tepat dan berjalan maksimal; dan (4) adanya kerja sama antara semua pihak.

Page 1 of 1 | Total Record : 8